Jejak Langkah dalam Arus Perjuangan: Dari Cinta Alam ke Cinta Rakyat
Sejarah sejatinya bukan museum bagi masa lalu, melainkan api yang terus menyala dalam ingatan kolektif. Ia bukan sekadar kronologi, melainkan medan pergulatan batin manusia antara yang mungkin dan yang nyata, antara kenyamanan dan keberanian. Di situlah GEMPAR UGR (Gerakan Mahasiswa Pecinta Alam Rinjani Universitas Gunung Rinjani) menapakkan jejaknya: sebagai gerakan yang lahir dari luka sejarah, bertumbuh dari cinta yang purba, dan menolak tunduk pada kekuasaan yang membatu.
GEMPAR tidak dibentuk oleh prosedur administratif belaka, tidak dilahirkan oleh seminar atau musyawarah belaka. Ia adalah hasil dari dialektika pertemuan antara konflik dan harapan, antara ketercerai-beraian dan impian akan kesatuan. Ia hadir sebagai jawaban, ketika banyak pertanyaan tidak lagi dijawab oleh organisasi-organisasi mahasiswa yang mapan namun kehilangan ruh.
UGR: Lahir dari Kepentingan, Dibentuk oleh Perlawanan
UGR, Universitas Gunung Rinjani, lahir pada 1994-1996 dalam pusaran kekuasaan. Ia bukan institusi yang tumbuh di ruang steril, melainkan dibidani oleh tokoh-tokoh politik yang visioner. “Sang Pendobrak” Ali Bin Dahlan dan sahabat-sahabatnya membangun UGR bukan semata untuk mencerdaskan kehidupan bangsa tapi juga sebagai bagian dari strategi politik. Maka sejak awal, kampus ini mengandung paradoks: ia menjanjikan ilmu, tapi juga dibayangi oleh kekuasaan; ia bicara kemajuan, namun kerap bersekutu dengan konservatisme.
Namun sejarah punya cara sendiri untuk menumbuhkan perlawanan. Justru dari kontradiksi inilah, mahasiswa UGR mulai menggeliat. Mereka belajar dari kemiskinan di sekeliling kampus, dari tambang yang menggusur, dari petani yang kehilangan tanah, dan dari nelayan yang tak lagi bisa melaut. Ruang kelas tak cukup menampung gelisah mereka maka jalanan menjadi ruang kuliah, dan tubuh mereka menjadi teks yang dibaca publik.
Fragmentasi, Krisis, dan Kelahiran Kesadaran Kolektif
Pasca Reformasi awal 2000-an, wajah gerakan mahasiswa di UGR mulai menampakkan retaknya. ORMAWA, OKP-UKM se-UGR semuanya tumbuh, masing-masing berjalan dalam sektornya. Fragmentasi menjadi wajah yang menyedihkan dari gerakan yang seharusnya satu. Perselisihan bukan soal ideologi, tapi seringkali hanya karena ego. Konsolidasi tak lagi hangat, yang tersisa hanya kompetisi dan saling curiga.
Namun sejarah selalu memberi momen reflektif. Ketika kampus dengan pongah menaikkan biaya pendidikan tanpa konsultasi, semua sekat runtuh. Mahasiswa yang biasa berdebat soal bela negara, patriotisme, syariat atau marxisme kini berdiri bersama, menuntut keadilan pendidikan. Demonstrasi pun meledak. Kekerasan, intimidasi, bahkan pemanggilan polisi, tidak menyurutkan mereka. Justru dari tekanan itu, sesuatu yang baru lahir: kesadaran kolektif bahwa perjuangan harus satu, bahwa perbedaan bisa disatukan dalam satu tujuan yang lebih tinggi.
Mahapala dan Titik Balik: Dari Alam Menuju Gerakan Rakyat
Mahapala Rinjani, yang awalnya hanya ruang rekreasi, menjadi rumah bagi mereka yang kelelahan berkonflik. Di sanalah, di kaki gunung, di tengah kabut dan api unggun, para mahasiswa mulai berbicara dari hati ke hati. Tentang ketidakadilan. Tentang mimpi. Tentang arah.
Namun keprihatinan muncul: jangan sampai Mahapala hanya menjadi eskapisme, pelarian dari realitas. Jangan sampai pendakian menjadi pelupaan. Di sebuah kantin sederhana pojok Kampus “Kantin Papuk Saen, lahirlah gagasan besar: membentuk organisasi mahasiswa yang bukan hanya mencintai alam, tapi juga berpihak pada rakyat. “GEMPAR pun lahir dengan satu tekad: menyatukan cinta pada bumi dengan keberanian melawan ketidakadilan”.
GEMPAR: Menyatukan Gerakan, Menyatu dalam Gerakan
GEMPAR adalah jawaban atas kebuntuan. Ia bukan sakadar Unit Kegiatan Mahasiswa dalam pengertian biasa. Ia adalah ruang ideologis, tempat belajar, tempat menyembuhkan luka gerakan, tempat menemukan bahasa yang bisa dimengerti oleh semua: bahasa keadilan, keberpihakan, dan cinta.
Di tubuh GEMPAR, mahasiswa dari spektrum ideologis yang berbeda bertemu. Mereka menghapus label dan bendera, dan mulai merumuskan ulang apa arti menjadi aktivis: bukan soal jargon, tapi soal kehadiran; bukan soal nama, tapi soal kerja. GEMPAR menjadi ruang spiritual bagi gerakan mahasiswa, tempat mereka memahami bahwa memperjuangkan lingkungan hidup berarti memperjuangkan kehidupan itu sendiri.
Di tengah krisis ekologi, perampasan ruang hidup, dan hegemoni kapitalisme ekstraktif, GEMPAR hadir sebagai kesadaran kolektif: bahwa hutan bukan hanya paru-paru dunia, tapi juga rumah bagi petani dan masyarakat adat; bahwa sungai bukan hanya aliran air, tapi juga urat nadi kehidupan; bahwa bumi bukan komoditas, melainkan ibu.
GEMPAR Hari Ini: Merawat Bara, Menjaga Arah
Kini, dua dekade lebih setelah kelahirannya, GEMPAR UGR masih berdiri. Tidak sempurna. Tapi tetap menyala. Ia adalah ruang belajar yang menolak menjadi menara gading. Ia melatih kadernya membaca peta konflik agraria, menyusun advokasi lingkungan, mengorganisasi petani dan perempuan, serta merancang strategi perlawanan Gerakan Rakyat.
GEMPAR adalah jembatan antara kampus dan kampung, antara teori dan aksi, antara cinta dan kemarahan. Ia mengajarkan bahwa mencintai alam berarti menjaga nilai luhur peradaban, menolak kekuasaan yang membungkam rakyat.
Sebagaimana Rinjani yang diam namun berapi, GEMPAR adalah suara yang tenang tapi membakar. Ia tidak lahir untuk menyesuaikan diri dengan sistem, tetapi untuk menggugatnya. Ia tidak diciptakan untuk nyaman, tetapi untuk mengganggu.
GEMPAR UGR adalah warisan dari kegelisahan, kesadaran, dan keberanian. Ia bukan organisasi biasa. Ia adalah ikhtiar membentuk manusia kampus yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga peka secara sosial dan ekologis. Dalam dunia yang terus direnggut oleh komersialisasi pendidikan dan ketidakadilan struktural, GEMPAR berdiri sebagai pengingat: bahwa mahasiswa, pada dasarnya, adalah anak kandung zaman yang tak boleh diam melihat ketimpangan.
GEMPAR bukan hanya soal naik gunung. Ia tentang turun ke bumi, menapak sejarah, dan melawan lupa.
GEMPAR yang Tak Pernah Usai
Kini, GEMPAR adalah api kecil yang terus dijaga. Ia bukan organisasi besar, tapi punya ruh yang besar. Ia hadir dalam aksi, dalam advokasi, dalam pendidikan rakyat, dalam pemetaan wilayah kelola, dalam konsolidasi gerakan lingkungan, dalam kampanye, dalam nyanyian, dalam luka, dan dalam tawa.
GEMPAR adalah suara kecil yang tak bisa dibungkam. Ia adalah kesadaran yang diwariskan. Ia tidak hanya hidup dalam struktur, tapi dalam semangat para anggotanya. Dan selama masih ada ketidakadilan, selama tambang masih merampas tanah petani, selama hutan terus ditebang, dan rakyat terus dibungkam GEMPAR akan terus menggema.
Bukan sebagai gema masa lalu, tapi sebagai denyut perlawanan hari ini.
Bukan hanya organisasi, tapi roh dari keberpihakan itu sendiri